Akhirnya otak dan hati ini mulai
berontak. Jari jemari dingin mulai meraih dan membuka bongkahan tipis cover
notebook. Entah mungkin sudah sekitar tiga hari keseharianku tidak jauh dari si
gembul. Kucing gemuk yang ditinggal anak dan istrinya. Walau ibuku selalu
bilang “itu bukan istri dan anak-anaknya.” Makan, tidur, main hape, tiduran, ya
sesekali mandi (maksudnya sehari mandi sekali, please aku nggak sejorok itu), sholat
karena memang kewajiban, bantu-bantu ibu kalau “teteh” (panggilan untuk ibu
separuh baya yang membantu membersihkan rumah, mencuci baju, dan pekerjaan
rumah tangga lainnya) sedang tidak masuk.
Kalau dibilang gabut, iya. Kalau dibilang
ga ada kerjaan, nggak. Ada tugas yang kubuat dan dibuat orang lain untuk mengisi liburanku, tapi belum kukerjakan. Deadline itu bisa bikin kita bekerja dibawah
tekanan. Alibi basi, bullshit dan busuk, karena lebih sulit mengerjakan
jauh-jauh sebelum deadline daripada mengerjakan sewaktu deadline. Belum
percaya? Mana tantangan yang lebih sering kamu ambil: ngerjain jauh sebelum
deadline atau ngerjain kalau udah mepet deadline? Oke balik ke diri sendiri.
Kemalasan dan melawan diri sendiri. Dua hal yang mungkin semua orang sudah tau,
sadar, tapi kesadaran itu sering kali hanya berakhir di pikiran semu, melayang,
dan pergi. Berpikir esok masih panjang.
Ada hal yang kusedihkan. Bukan tentang apa
yang kukerjakan nanti tidak bisa maksimal. Bukan tentang tidak akan ada apresiasi
dari orang lain. Bukan tentang hal-hal yang bisa kuraih masih menjadi mimpi.
Bukan tentang itu semua yang ada di dunia. Walau ya terkadang aku sedih dan
menyesal karenanya, ya manusiawi juga.
Tapi, ada yang lebih kutakutkan. Tentang bagaimana
bisa akan kujawab dakwaan-dakwaan di Peradilan Tinggi nan Agung, yang mana tidak
akan ada yang luput, tidak akan ada yang bisa memberikan kesaksian palsu, tidak dapat dibayar, bahkan mulutpun tidak dapat membela, yang berbicara anggota badan. Bagaimana aku
menjawabnya jika aku ditanya “Kamu habiskan waktumu untuk apa?”, “Apa yang
sudah kamu kerjakan dengan amanahmu?”. Apa yang harus kulakukan saat mulut ini
dikunci. Tentang kemana aku harus berlari saat seluruh pasang mata manusia
dapat menyaksikan apa yang sudah kuperbuat, tanpa sensor, dengan audio dan
spesifikasi kamera maksimal.
Flashback:
“Ini bukan tentang LPJ, ukhti.”
Satu kalimat yang mungkin akan selalu membuatku terhenyak dan tidak akan kulupakan. Kalimat itu dan kalimat lain yang mengikutinya. Dari seorang murobbi baruku yang membuatku menangis semalaman untuk pertama kalinya. Ingin rasanya aku segera ganti murobbi, sakit hati waktu itu. Yang kurasakan, ia menyalahkanku, padahal akupun punya hidup, aku ingin bersantai, aku ingin mengejar apa yang kumau, toh aku telah mengerjakan lebih baik dari orang lain. Tidak menghargaiku sedikitpun, ingin kuberpaling dan pergi. Benci sekali rasanya. Hingga aku tidak sanggup bernapas dengan normal, tapi aku tidak ingin terlihat cengeng. Menatap wajahnya, aku tidak sanggup. Okay, cukup di sini aku memperlihatkan sisi lebayku, hahaha. Tapi, kalimat itu juga yang sampai saat ini menyadarkanku dan terus mengajariku tentang keikhlasan. Ya, apakah sampai LPJ selesai saja maka artinya itu sudah cukup? Bagaimana ceritanya kalau para wali dulu seperti itu dakwahnya? Mungkin satu orangpun akan sulit diajak kepada kebaikan.)
Ya, aku berharap semoga tidak ada
kesia-siaan lagi untuk berikutnya, barang sedetikpun. Karena dalam hadistpun
diberi tahu, “Dua nikmat yang paling sering dilalaikan adalah nikmat sehat dan
nikmat waktu luang.” Semoga Allah menjauhkan kita dari sifat-sifat orang yang
merugi di Yaumil Akhir. Aamiin.
Komentar
Posting Komentar