Langsung ke konten utama

Is it okay to be too perfectionist ?

Kesal. Nyesek. Sebel. Sedih. Menyesal.
Tidak tahu akan dituangkan dalam bentuk apa dan kepada siapa.

Kesal, karena orang lain bisa melakukan sesuatu dengan jalan jauh lebih mudah.
Nyesek, karena ga suka dengan cara itu. Dasar oportunis, batinku dengan sinis.
Sebel, karena yang kulakukan sudah jauh dari itu, tapi ga boleh menyombongkan diri.
Sedih, karena secara tidak sadar mengedepankan sifat perfeksionis.
Menyesal, karena sifat itu terlanjur dilakukan dan sudah terlanjur ada akibatnya.

Di saat ini aku merasa seperti di antara dua pilihan. Melakukan hal mudah, tapi tidak sesuai dengan jurnal internasional. Atau melakukan sesuai jurnal internasional tapi sulit entah hingga kapan.
“Hmm aku tidak suka jika hasil skripsiku tidak benar-benar berkualitas, apalagi itu topik yang masih terus hangat di dunia internasional. And, my signature should be perfect.” pikirku.

Tapi… Sampai kapan aku akan berada dalam kondisi ini jika kesempurnaan/lebih baik terus kukejar. Dan tetiba saja.. Aku teringat, beberapa minggu lalu, sudah kuputuskan bahwa jika cara ideal ini tidak berhasil, maka akan pakai cara yang lebih mudah. Namun tidak kulakukan. Aku kembali mengingat apa penyebabnya.

Aku baru sadar, benar-benar baru sadar jika sisi perfeksionisku ini masih ada dan mendominasi.
Sebelum kesadaran ini munculpun, aku harus berusaha terlebih dahulu membuang ego dan gengsiku. Berusaha dan meminta tolong kepada Allah supaya diberi petunjuk, diberi pikiran yang jernih, dan…. Aku berusaha memfokuskan diriku pada tujuan hidupku..

Jika aku terus mencari kesempurnaan pada skripsiku… Hmm rasa-rasanya akan sangat sulit. Bisa jadi aku mengorbankan orangtua dsb., meninggalkan semua kesempatan untuk mencoba berbagai hal yang baik-baik.. Hmm, tidak baik jika hal ini kulakukan... Lagipula, rasa-rasanya penelitian level skripsi ini..tidak perlu sekelas penelitian seorang doctoral...

Hingga akhirnya kuyakinkan perasaan ini dengan berikhtiar menelpon ayahku..
Alhasil, as my prediction my dad said. “Kamu harus membuang perasaan kayak gitu, jangan terlalu idealis. Ada saatnya nanti harus berpikir ideal, tapi bukan sekarang..” Well, actually I don't really understand what my dad's mean, but yeah there's something that I should be agreed.

=================================

Alhamdulillaah.. Ini pelajaran yang sangat berharga bagiku, bahwa terkadang tidak harus dan tidak lebih baik jika segala sesuatu dikerjakan dengan sempurna, tidak boleh egois dan gengsian. Tidak perlu peduli dengan penilaian orang, kekaguman orang, atau sekedar pengakuan orang.

NB: Bukan ga boleh perfesionis, tapi lihat-lihat kondisi. Bersikap bijak dan proporsional, inshaaAllah lebih baik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Template Kreatif - Wallpaper Desktop Gratis

Setelah sekian lama tidak ada progress-nya, coba aktif kembali deh. Kali ini menyajikan beberapa template yang bisa digunakan untuk background desktop kalian,  It's free to be saved  :D Silahkan untuk memberi kritik dan masukan. keyword: wallpaper, desktop background, background desktop.

Bapak Penjual Cukuran Kumis

  Ibarat kentut mau keluar, kalo ditahan sakit. Dikeluarin takut bau. Jadi aku cerita di sini, semoga tidak ada “bau”nya dan lega rasanya, hehe.   Tadi siang selepas dari kantor, aku berhenti sejenak pada sebuah masjid favoritku di sudut jalan pahlawan. Aku ambil spot teras masjid dekat pintu masuk wanita, bersandar pada dindingnya yang putih, lantas meraih tasku. Baru saja kubuka HP ini dan memeriksa notifikasi di Whatsapp, ada seorang Bapak usia 40-45 tahun yang menghampiriku. Jujur, agak kaget dan takut, beliau agak berdebu. Tapi beliau cukup sopan, dan beliau menawarkan jualannya, pencukur kumis yang dibandrol dengan harga Rp. 5.000 per piece. Dengan harga yang menunjukkan keseriusan dia mencari rezeki halal, aku pun memberikan uang lebih untuk 1 piece. Lantas dia bertanya tempat tinggal, aktivitas, usia, keluarga hingga nomor HP-ku. “Bu, boleh minta nomor HPnya?” To be honest, ini cukup random dan membingungkan, “Buat apa pak nomor HP?” Beliau bilang “Ya, kalo d...

Suara Jiwa

Termenung di antara dentingan jarum jam di dinding bagian barat kamar. Rasanya sudah hampir seperenam jam berbicara dengan bayangan, menyapa, tersenyum, memberi semangat, memaklumi, dan berusaha bersyukur. Teringat kali pertama. Entahlah, akupun masih mencari, dimana ambisi itu. Keinginan besar yang bahkan selalu membuatku tersenyum, tanda kegilaan memenuhi isi otakku saat itu. Dan kembali melihat diriku saat ini, akupun tak tahu mana yang baik. Diberi tuntutan, tertekan, diberi kelonggaran, kejenuhan. Sampai kapan? Rasanya ini dejavu untuk keberapa kalinya, akupun sudah tak ingat. Sedih, tanpa makna, mungkin ini bipolar? Mungkin, atau mungkin otakku minta tidur, hmm. Entahlah aku memang paling suka tidur, rasanya aku bisa lari sebentar dari tuntutan-tuntutan di dunia ini, hmm. Yap, aku sedih. Tanpa alasan. Mungkinkah? Mungkinkah karena musik-musik yang sering kudengarkan? Mungkinkah? Allah menganugerahkan perasaan ini untukku dengan alasan luar biasa baik yang tidak p...