Langsung ke konten utama

Bapak Penjual Cukuran Kumis

 

Ibarat kentut mau keluar, kalo ditahan sakit. Dikeluarin takut bau.

Jadi aku cerita di sini, semoga tidak ada “bau”nya dan lega rasanya, hehe.

 

Tadi siang selepas dari kantor, aku berhenti sejenak pada sebuah masjid favoritku di sudut jalan pahlawan. Aku ambil spot teras masjid dekat pintu masuk wanita, bersandar pada dindingnya yang putih, lantas meraih tasku. Baru saja kubuka HP ini dan memeriksa notifikasi di Whatsapp, ada seorang Bapak usia 40-45 tahun yang menghampiriku.

Jujur, agak kaget dan takut, beliau agak berdebu. Tapi beliau cukup sopan, dan beliau menawarkan jualannya, pencukur kumis yang dibandrol dengan harga Rp. 5.000 per piece. Dengan harga yang menunjukkan keseriusan dia mencari rezeki halal, aku pun memberikan uang lebih untuk 1 piece.

Lantas dia bertanya tempat tinggal, aktivitas, usia, keluarga hingga nomor HP-ku. “Bu, boleh minta nomor HPnya?” To be honest, ini cukup random dan membingungkan, “Buat apa pak nomor HP?” Beliau bilang “Ya, kalo di rumah atau di kantornya Ibu ada yang perlu ini, atau mau dijual lagi”, sambil menunjukkan dagangannya yang ternyata di dalam tas usang yang dia bawa terdapat pencukur kumis mungkin sekitar 50-100 pieces. Ya Rabb, orang ini serius sekali menjual dagangannya.

Belum sempat aku membuat alasan untuk tidak memberi nomor HPku, Bapak itu sudah mengeluarkan HP Nokia jadul warna hitam khas dengan 9 tombol untuk huruf-huruf dari dalam tasnya, “Berapa Bu nomornya?” Kekhawatiranku bahwa dia akan menggangguku lewat chat WA pun langsung terhapuskan. Setelah dia memasukkan nomor HP dan meneleponku, dia lantas berkata “Itu ya Bu nomornya, nanti saya izin telepon atau SMS ya”. Lalu kubalas, “Iya Pak, tapi maaf saya ga janji angkat ya”. “Iya Bu”

Jiwa kepo ini akhirnya memberanikan diri bertanya, tentang keluarga dan tempat tinggal tinggal. Cileunyi ternyata. Dan tentu beliau tidak punya kendaraan. Selanjutnya beliau memberitahu bahwa uangnya untuk membayar kontrakan yang sewanya 200ribu sebulan. Tapi beliau tidak mengeluh ataupun jual kesedihan. Beliau berkata karena ditanya.

Tidak lama setelah itu, beliau pun pamit dengan sopan, mungkin karena tidak ingin menggangguku. Sambil berkata, “Hehe nanti saya telepon ya Bu, siapa tahu saya belum makan” katanya sambil tersenyum setengah tertawa. Akupun hanya tersenyum getir mendengarnya.

 

Duh, sedih banget kalo ingat beliau, semoga banyak orang yang menolong ya. Dan Bapak bisa dapat kehidupan yang lebih layak. Kalo ada yang butuh pencukur kumis bisa menghubungi beliau ya: 0878-4415-4367

 

 ---

Note: Karena baru sadar, seharusnya kalau mau memberi, sebaiknya sedekah aja, jangan jual beli karena di teras masjid khawatir termasuk bagian dari mesjid yang mana tidak boleh untuk berdagang. Atau kalo mau tetap jual beli, keluar dari pagar dahulu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Zero to Hero [Resume Buku]

Zero to Hero  Karya: Solikhin Abu Izzudin               Setiap orang diberi waktu yang sama setiap tahunnya, bulannya, minggunya, harinya, jamnya, menitnya, hingga detiknya tidak ada yang berbeda. Namun nyatanya. ada orang yang biasa saja, ada pula orang yang juga biasa saja tetapi mampu mendahsyatkan diri dengan berbagai karya di dalam penjara, pencapaian yang tidak mungkin di usianya, dan peninggalan ilmu pengetahuan segudang yang sulit dibayangkan jumlahnya.             Mereka bukanlah orang yang luang waktunya, sedikit masalahnya, jarang menemui kegagalan, tapi justru dari kesempitan, masalah, kegagalan, dan tekanan itulah muncul karya-karya emas mereka. Kuncinya adalah kreativitas, kegigihan, dan keuletan saat meniti jalan yang dipilihnya. Nantinya akan ada masanya, kewajiban yang harus kita jalankan lebih banyak dari waktu yang kita punya, oleh karena itulah kita harus saling...

Flashback masa kecil #1

Entahlah dilema. Tersadar. Atau terlalu “terimo” (read: “terima” or menerima). Aku tidak merasa seperti itu, tapi kalau dirasa-rasa benar juga ucapannya. Mungkin aku hanya belum paham, rasanya aku tidak pernah lebih tidak paham dari saat ini. Bahkan tulisan inipun menjadi saksi bisu bahwa ada yang ingin kukatakan, tapi aku pun bingung harus dari mana dan apa itu. “Tidak punya teman dekat. “ kalimat yang masih hangat di telingaku, setidaknya hingga malam ini. ******       Rasanya  benar, entah sudah berapa lama aku belum menemukan teman dekat penggantiku dari yang di SMA dulu. Atau lebih jauh lagi, masa ke”jaya”anku saat SD di Kalimantan Selatan tepatnya Banjarmasin, punya banyak teman dekat, that’s the true close friends, not friends that caused of not having choice to be not close to them (bener ga ya please aku tahu skor toeflku tidak sebaik kalian hahahaha). Rasanya dulu hampir tiap weekend temanku berkunjung atau aku berkunjung ke rumah mereka...