Langsung ke konten utama

Segores Luka Hati #1

        Haha, perlahan tapi pasti rasanya satu demi satu gambar lucu yang kerap orang sebut meme itu  menjadi realita di kehidupanku.

        Ya, meme perihal kuliah dan kedewasaan. Bukan, bukan tentang hakikat tentang kedewasaan itu sendiri, tapi tentang bertambahnya usia di dunia yang fana ini.

        Dulu, begitu besar mimpi, tidak realistis, tidak terbayang, namun, dengan mantap kulantangkan. Tapi rasanya, saat ini, akupun malu dan sedih dengan diri ini. Rasanya mimpi itu hilang, rasa malas, rasa pesimis, tidak ada motivasi, walhasil stagnan.

Sedih…
Tentu.

Melihat orang lain di luar sana terus berjuang habis habisan dengan mimpi-mimpi luar biasa yang mereka buat.

Sementara aku…
Rasanya aku sudah sangat bersyukur dengan keadaan ini, malas, dan tidak ada perbaikan diri…

Tapi sebentar…
Apa makna syukur sebenarnya……

        Syukur itu menggunakan seluruh potensi, kesempatan yang ada dengan semaksimal mungkin sesuai kehendak Yang Memberikan Nikmat itu.

        Imanku pun lemah saat ini, rasanya tidak ada ghiroh untuk ibadah, tidak kurasakan manisnya iman… sediih….

        Sangat, rasanya hanya bekerja, terus bekerja, memenuhi deadline, dan kembali tidak melakukan perbaikan.. Aku berpikir, mungkin ini akumulasi dosa yang kuanggap dosa kecil dan kuremehkan…..mungkin.

      Yang pasti, aku ingin keluar dari zona nyaman ini, untuk apa aku hidup di dunia jika tidak kugunakan seluruh nikmat yang Allah beri untuk beribadah demi kebahagian dunia dan akhirat. Ingat, ibadah  itu luas…

        Belajar, itu ibadah… Mengajarkan orang lain, itu ibadah.. Menemukan inovasi dan pengetahuan, itu ibadah.. Mendirikan perusahaan, itu ibadah….

Semuanya tergantung niatnya…

“Ya Allah, Yang Maha Membolak-balikkan hati, Teguhkan Hati Ini di Atas AgamaMu.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapak Penjual Cukuran Kumis

  Ibarat kentut mau keluar, kalo ditahan sakit. Dikeluarin takut bau. Jadi aku cerita di sini, semoga tidak ada “bau”nya dan lega rasanya, hehe.   Tadi siang selepas dari kantor, aku berhenti sejenak pada sebuah masjid favoritku di sudut jalan pahlawan. Aku ambil spot teras masjid dekat pintu masuk wanita, bersandar pada dindingnya yang putih, lantas meraih tasku. Baru saja kubuka HP ini dan memeriksa notifikasi di Whatsapp, ada seorang Bapak usia 40-45 tahun yang menghampiriku. Jujur, agak kaget dan takut, beliau agak berdebu. Tapi beliau cukup sopan, dan beliau menawarkan jualannya, pencukur kumis yang dibandrol dengan harga Rp. 5.000 per piece. Dengan harga yang menunjukkan keseriusan dia mencari rezeki halal, aku pun memberikan uang lebih untuk 1 piece. Lantas dia bertanya tempat tinggal, aktivitas, usia, keluarga hingga nomor HP-ku. “Bu, boleh minta nomor HPnya?” To be honest, ini cukup random dan membingungkan, “Buat apa pak nomor HP?” Beliau bilang “Ya, kalo d...

Zero to Hero [Resume Buku]

Zero to Hero  Karya: Solikhin Abu Izzudin               Setiap orang diberi waktu yang sama setiap tahunnya, bulannya, minggunya, harinya, jamnya, menitnya, hingga detiknya tidak ada yang berbeda. Namun nyatanya. ada orang yang biasa saja, ada pula orang yang juga biasa saja tetapi mampu mendahsyatkan diri dengan berbagai karya di dalam penjara, pencapaian yang tidak mungkin di usianya, dan peninggalan ilmu pengetahuan segudang yang sulit dibayangkan jumlahnya.             Mereka bukanlah orang yang luang waktunya, sedikit masalahnya, jarang menemui kegagalan, tapi justru dari kesempitan, masalah, kegagalan, dan tekanan itulah muncul karya-karya emas mereka. Kuncinya adalah kreativitas, kegigihan, dan keuletan saat meniti jalan yang dipilihnya. Nantinya akan ada masanya, kewajiban yang harus kita jalankan lebih banyak dari waktu yang kita punya, oleh karena itulah kita harus saling...

Flashback masa kecil #1

Entahlah dilema. Tersadar. Atau terlalu “terimo” (read: “terima” or menerima). Aku tidak merasa seperti itu, tapi kalau dirasa-rasa benar juga ucapannya. Mungkin aku hanya belum paham, rasanya aku tidak pernah lebih tidak paham dari saat ini. Bahkan tulisan inipun menjadi saksi bisu bahwa ada yang ingin kukatakan, tapi aku pun bingung harus dari mana dan apa itu. “Tidak punya teman dekat. “ kalimat yang masih hangat di telingaku, setidaknya hingga malam ini. ******       Rasanya  benar, entah sudah berapa lama aku belum menemukan teman dekat penggantiku dari yang di SMA dulu. Atau lebih jauh lagi, masa ke”jaya”anku saat SD di Kalimantan Selatan tepatnya Banjarmasin, punya banyak teman dekat, that’s the true close friends, not friends that caused of not having choice to be not close to them (bener ga ya please aku tahu skor toeflku tidak sebaik kalian hahahaha). Rasanya dulu hampir tiap weekend temanku berkunjung atau aku berkunjung ke rumah mereka...