Langsung ke konten utama

Siapa Sangka [Part 1]

source img: http://blog.blogthings.com


“Iya sih kok mbak hasna bisa berubah?”
Pertanyaan adikku yang membuat lidahku kelu untuk menjawabnya.

“Alhamdulillaah ya.” Akhirnya itu yang keluar.

--------
Hidup sebagai seorang anak yang temperamen (bukan pemarah ya, tapi lebih parah dari itu), ga percaya? mungkin masih terlihat gurat-guratan itu di alisku yang menukik di ujung-ujungnya, buah dari seringnya aku marah, entah benar atau tidak hahaha.

Bukan, ini bukan marah karena emang seharusnya marah, tapi marah-marah karena urusan yang sepele, serius ini lebih sepele dari semut yang nggak sengaja keinjak. Aku bisa marah karena orang sebelum aku yang selesai cuci tangan matiin keran padahal aku udah ngantri di belakangnya. Whaat?? That’s true. Karenanya aku bisa marah sampai ngebanting pintu yang akhirnya dindingnya retak-retak ga jelas. But, aku nyesel sih abis amarahku reda, sayang aja sama dindingnya jadi retak ga mulus lagi L #abaikan

Aku bisa marah karena barang yang kucari ga ketemu, syukur kalau marahnya ke diri sendiri. Tapi nggak. Ini marahnya ke acil “sebutan untuk bibi/tante dalam bahasa banjar” Whaat?? Sampai acilnya sedih dan yang menghibur acil adalah ibu gue. OH my god udah kayak di sinetron-sinetron aja. Malu dan hina banget kalau inget zaman itu. But, again, that’s true, I did it.

But, di satu sisi aku adalah seorang anak yang ceria, energik, “manutan”(penurut) sama temen-temen gue, pokoknya teman-teman gue banyak dan mereka demen banget temenan gitu sama gue hahaha kok aku malu ya #kalau aku malu, aku suka tertawa/tersenyum. And do you can guess? Aku bagaikan seorang malaikat di sekolah, dan udah kayak evil aja di rumah. So bad, so sad L Walaupun ga selalu gitu sih, aku bisa jadi anak yang sangat ceria, baik, suka bantuin di rumah. Tapi ya sisi evil itu bisa muncul tiba-tiba, bahkan aku ga bisa mengendalikan emosiku kalau lagi marah, udah kayak mau meledak aja. Serius ini bukan kemarahan yang biasa, karena orang lain yang kulihat pada umumnya, at least adek dan kakakku ga gini-gini amat kalau marah.

Dan kalau udah marah, aku bisa ngeberantakin semua kamar dalam hitungan menit. Kalau logikaku ga jalan, mungkin semua kaca-kaca udah pecah. Peralatan elektronik udah rusak. Alhamdulillaahnya logikaku masih agak berfungsi yang membuat setidaknya penyesalanku setelah marah reda tidak terlalu besar.

Oh iya akibat aku yang temperamen itu, aku juga tidak jarang membuat orang lain sakit hati karena ucapanku. Ibaratnya, dulu waktu kecil aku selalu berpikir, aku paling tau apa yang membuat orang lain sakit hati, I know the words… udah kayak psikopat hati aja L syereem, naudzubillahi min dzalik.

Tapi semua itu berubah saat Negara apa menyerang…

Nggaak deng,

Semua itu berubah sejak aku mulai smp…

(to be continued)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapak Penjual Cukuran Kumis

  Ibarat kentut mau keluar, kalo ditahan sakit. Dikeluarin takut bau. Jadi aku cerita di sini, semoga tidak ada “bau”nya dan lega rasanya, hehe.   Tadi siang selepas dari kantor, aku berhenti sejenak pada sebuah masjid favoritku di sudut jalan pahlawan. Aku ambil spot teras masjid dekat pintu masuk wanita, bersandar pada dindingnya yang putih, lantas meraih tasku. Baru saja kubuka HP ini dan memeriksa notifikasi di Whatsapp, ada seorang Bapak usia 40-45 tahun yang menghampiriku. Jujur, agak kaget dan takut, beliau agak berdebu. Tapi beliau cukup sopan, dan beliau menawarkan jualannya, pencukur kumis yang dibandrol dengan harga Rp. 5.000 per piece. Dengan harga yang menunjukkan keseriusan dia mencari rezeki halal, aku pun memberikan uang lebih untuk 1 piece. Lantas dia bertanya tempat tinggal, aktivitas, usia, keluarga hingga nomor HP-ku. “Bu, boleh minta nomor HPnya?” To be honest, ini cukup random dan membingungkan, “Buat apa pak nomor HP?” Beliau bilang “Ya, kalo d...

Renungan Di Sela Liburan

Melalui Waktu atau Dilalui Waktu?                Akhirnya otak dan hati ini mulai berontak. Jari jemari dingin mulai meraih dan membuka bongkahan tipis cover notebook. Entah mungkin sudah sekitar tiga hari keseharianku tidak jauh dari si gembul. Kucing gemuk yang ditinggal anak dan istrinya. Walau ibuku selalu bilang “itu bukan istri dan anak-anaknya.” Makan, tidur, main hape, tiduran, ya sesekali mandi (maksudnya sehari mandi sekali, please aku nggak sejorok itu), sholat karena memang kewajiban, bantu-bantu ibu kalau “teteh” (panggilan untuk ibu separuh baya yang membantu membersihkan rumah, mencuci baju, dan pekerjaan rumah tangga lainnya) sedang tidak masuk.       Kalau dibilang gabut, iya. Kalau dibilang ga ada kerjaan, nggak. Ada tugas yang kubuat dan dibuat orang lain untuk mengisi liburanku, tapi belum kukerjakan. Deadline itu bisa bikin kita bekerja dibawah tekanan. Alibi basi, bullshit dan busu...